Palembang, Senin 12 September
2011
Ballroom Hotel Aryaduta Palembang
A. Latar Belakang
Korupsi
sudah menjadi kejahatan luarbiasa extra ordinary, karena menyangkut
hampir semua level masyarakat dan menyebar ke seluruh nusantara. Hal ini
dikarenakan korupsi sudah hampir menjadi budaya yang
menyangkut semua tingkatan masyarakat seiring dengan pelaksanaan desentralisasi dan menjadi bagian dari
operasional sehari-hari dan dianggap bukan merupakan perbuatan tercela juga perilaku korupsi telah ada dan melekat
pada sistem, dimulai pada awal perencanaan program kerja tahunan,
penggelembungan anggaran, rekayasan pemenang proyek dan lain-lain.
Anatomi korupsi menunjukkan
bahwa, uang hasil korupsi merupakan derivative yang sangat penting
bagi kelanjutan korupsi dan kejahatan
lain sebagai transnasional crime.Korupsi masa kini bukan hanya karena untuk memenuhi hidup sehari-hari (petty-corruption) akan tetapi juga lebih
sering menampilkan keserakahan yang luar biasa (grand-corruption) dari suatu rezim yang sedang berkuasa sebagaimana
kita saksikan kejatuhan suatu rezim pemerintahan selalu dilatarbelakangi oleh
korupsi. Atas dasar pengamatan ini maka
pengumpulan harta kekayaan merupakan tujuan akhir dari korupsi sehingga
perbuatan korupsi itu sendiri hanyalah merupakan “a means to an end” bukanlah merupakan “ an end in itself”.
Pembuktian Terbalik[1] merupakan strategi untuk
memfasilitasi, mengumpulkan dan evaluasi bukti dalam rangka mengatasi
ketidakmampuan sistem peradilan pidana untuk merespon secara efektif kejahatan
non-konvensional seperti korupsi, pencucian uang dan kejahatan terorganisir. Dalam
hal ini pembuktian terbalik dilakukan
dalam rangka perampasan aset, atau memperkuat proses perkara pidana dan
dikaitkan dengan proses pidana itu
sendiri.
Teori pembuktian yang selama ini diakui adalah
“pembuktian negatif” (Pasal 183 UU RI Nomor 8 Tahun 1981
tentang Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana ) atau “negative wettelijke beginsel” atau dalam sistem Common Law dikenal
sebagai, “proof beyond reasonable doubt”,
dan sejalan dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence),yang sering
menyulitkan proses pembuktian kasus-kasus mega-korupsi[2].
B. ISI PEMAPARAN SEMINAR
B. ISI PEMAPARAN SEMINAR
1. Pergeseran Transaksi Tunai
Terdapat
pergeseran kebiasaan transaksi perbankan dan non bank oleh sebagian masyarakat.
Transaksi pemindahan dana yang umumnya dapat dilakukan secara non tunai yakni
transfer dana (baik transfer dana antar bank atau antar penyelenggara transfer
dana maupun pemindahbukuan antar rekening di suatu bank mulai bergeser menuju
transaksi tunai. Transaksi tunai tersebut antara lain setor tunai dan tarik
tunai untuk keperluan tertentu. Semakin meningkatnya trend transaksi tunai diduga antara lain dengan
maksud untuk memutus pentrasiran atau pelacakan asal-usul sumber dana dan
memutus pelacakan aliran dana kepada pihak penerima dana (beneficiary)
yang pada akhirnya akan mempersulit tugas PPATK dalam melakukan analisis
transaksi keuangan mencurigakan.
Modus Transaksi TunaiModus transaksi tunai yang diduga untuk memutus pelacakan transaksi
keuangan antara lain:
- Setoran tunai dalam jumlah besar dari bukan nasabah suatu bank (walk in customer) untuk pihak ketiga yang merupakan nasabah di suatu bank berbeda;
- Setoran tunai dalam jumlah besar dari pihak penyetor untuk pihak ketiga dimana baik pihak penyetor maupun penerima setoran merupakan nasabah di bank yang sama;
- Transaksi tarik tunai dalam jumlah besar untuk tujuan tertentu yang sebenarnya dapat dilakukan secara pemindahbukuan atau transfer dana, misalnya untuk pembayaran pembelian properti, kendaraan bermotor;
- Transaksi Tunai dilakukan oleh penerima suap dengan menggunakan kartu ATM milik penyuap.[3]
2. Pembuktian
Terbalik
Pembuktian
Terbalik yang dimaksud adalah: ”pembalikan beban pembuktian”, di mana beberapa literatur menyebutnya: omkering
van bewijslast atau shifting the burden of proof. Maksudnya, a party’s duty to proof a disputed
assertion or charges. Atau, in litigation, the transference of the duty to
prove a fact from one party to the other; the passing of the duty to produce
evidence in a case from one side to another as the case progress, when one side
has made a prima facie showing on a point of evidence, requiring the other side
to rebut it by contradictory evidence.[4]
Teori Pembuktian Terbalik (Balances Probality principle) menurut
Prof.Dr.Romli Atmasasmita, Setiap orang berhak memiliki kekayaan/aset yang
diperoleh secarah sah, kecuali terbukti sebaliknya;
- Tersangka/terdakwa yang diketahui asal usul asetnya sehingga seharusnya beban pembuktian asal-usul aset berada pada terdakwa/tersangka;
- Pembuktian terbalik atas aset tersangka/Terdakwa tidak merupakan pelanggaran HAM;
- Ada pemisahan antara pemilik aset dan setnya yang diduga berasal dari tindak Pidana;
- Aset tindak pidana merupakan subyek hukum setara dengan pemiliknya;
- Pembuktian terbalik atas aset melepaskan pertanggungjawaban pidana terhadap pemiliknya
Salah
satu pasal dari UNCAC[5]
adalah Pasal 20 (memperkaya diri
secara tidak sah) yang menentukan: Berdasarkan konstitusi dan prinsip-prinsip dasar sistem
hukumnya, masing-masing Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk mengambil
tindakan-tindakan legislatif dan lainnya sedemikian sebagaimana dianggap perlu
untuk menetapkan sebagai pelanggaran pidana, apabila dilakukan dengan sengaja,
perbuatan memperkaya diri, artinya, peningkatan penting dalam kekayaan pejabat
publik yang tidak dapat secara wajar dijelaskannya berkaitan dengan
penghasilannya yang sah. Oleh sebab itu Indonesia pada tanggal 16 April 2006
telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Undang‑Undang Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Natlons Convention Against
Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa‑Bangsa Anti Korupsi, 2003).
Pembuktian terbalik pada dasarnya merupakan penyimpangan dari Pasal 66
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Pasal 14 Ayat (3) huruf g Kovenan Internasional
tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang telah diratifikasi dengan UU No. 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), yang menyebutkan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani
kewajiban pembuktian.
Di Indonesia pembuktian terbalik
telah diatur
dalam:
a. Pasal 5 ayat (1) Perppu No. 24 Tahun 1960 tentang
Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, dan Pasal 17 dan
Pasal 18 UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
b. Pasal 12B, Pasal 37, Pasal 37A, Pasal 37B dan Pasal 38
UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
c.
Pasal 77 dan Pasal 78 dalam UU TPPU
.
Namun demikian, baik
Perppu No. 24
Tahun 1960 dan UU No.
3 Tahun 1971 maupun ketentuan Pasal-Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 tersebut tidak
mengatur secara tegas mengenai pembuktian terbalik. Bahkan dalam praktek
penanganan kasus korupsi belum pernah menerapkan pembuktian terbalik sebagai
sistem pembuktian[6].
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Salah satu penyebab sulitnya pemberantasan korupsi adalah sulitnya pembuktian, karena para
pelaku tindak pidana ini melakukan kejahatannya dengan sangat rapi. Untuk
memecahkannya, maka upaya Pemerintah yang bisa
ditempuh yaitu menerapkan
pembuktian terbalik terhadap perkara-perkara korupsi.
Model baru asas pembuktian
terbalik ini ditujukan terhadap pengungkapan secara tuntas asal usul asset-aset
yang diuga dari hasil korupsi itu
sendiri, yaitu dengan menempatkan posisi hak atas kekayaan pribadi seseorang
pada level yang sangat rendah, dan pada saat bersamaan menempatkan hak
kemerdekaan orang ybs pada level yang
sangat tinggi dan sama sekali tidak boleh dilanggar. Teori pembuktian terbalik tersebut dikenal
sebagai “teori keseimbangan kemungkinan” (Balanced
probability principle theory) dalam pembuktian harta kekayaan tersebut bertujuan untuk menjawab asal usul harta
kekayaan seseorang yang sangat tinggi
yang tidak sebanding dengan
penghasilan yang diterima setiap bulannya, dan di duga berasal dari korupsi.
Teori ini menempatkan seseorang dalam
posisi sebelum yang bersangkutan memperoleh harta kekayaan nya yang meningkat secara signifikan.[7]
Perlunya
Pembatasan Transaksi Tunai karena Transaksi Tunai banyak digunakan untuk memutus pentrasiran atau pelacakan asal-usul
sumber dana dan memutus pelacakan aliran. Kewajiban melakukan
transaksi keuangan non-tunai untuk jumlah nominal tertentu
perlu dilakukan, mengingat kasus korupsi di Indonesia berada pada tingkat yang sangat
mengkhawatirkan. Adapun pokok usulan ppatk
dalam uu transfer dana yaitu setiap transaksi transfer dana yang sumber dananya berasal dari setoran
tunai dengan jumlah atau lebih besar dari Rp. 500 Juta wajib ditolak atau wajib
dilakukan secara pemindahbukuan
2. Saran
Hukuman berat segera diberlakukan bagi koruptor setelah ada pemutihan bersyarat agar koruptor
berkesempatan mengembalikan uang negara. PPATK mendorong
masyarkat untuk lebih mengoptimalkan penggunaan jasa perbankan dan penyedia
jasa lainnya. Namun untuk
mewujudkan hal tersebut dperlukan dukungan sarana dan prasarana, mengingat
masyarakat Indonesia banyak dan masih melakukan transaksi secara tunai. Dukungan pihak
eksekutif, legislatif, yudikatif dan seluruh rakyat Indonesia sangat
dibutuhkan, sehingga dimungkinkan terwujudnya kebijakan tersebut. Pemberantasan korupsi tidak hanya mengharapkan kerja KPK dan lembaga penegak
hukum, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan.
DAFTAR
PUSTAKA
Alie , Marzuki. Sistem Pembuktian Terbalik Dan Transaksi Keuangan Non Tunai Strategi Baru Pemberantasan Korupsi. 2011
Atmasasmita ,Romli .Makalah: Pembuktian Terbalik Dalam
Kasus Korupsi .2011
Chusniah ,Nur .Makalah Pembuktian Terbalik : Strategi Baru Pemberantasan Korupsi.2011
Husein, Yunus.Makalah
Tinjauan Pembatasan Transaksi Keuangan Tunai dan
Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik untuk Memperkuat Upaya Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi dan Tindak Pencucian Uang.2011
Indrayana,Denny.Indonesia Optimis.Jakarta:PT. Bhuana Ilmu Populer .2011
Indrayana,Denny.Indonesia Optimis.Jakarta:PT. Bhuana Ilmu Populer .2011
[1] pembuktian
terbalik disebut juga pembalikan beban
pembuktian, omkering van het bewijslast atau reversal of
burden of proof. penerapan sistem pembuktian terbalik terhadap tindak
pidana korupsi sudah dianut antara lain di hongkong, malaysia, dan singapura.
[2]istilah
tersebut untuk membedakannya dengan “petty corruption” yang proses
pembuktiannya relative lebih mudah dibandingkan dengan “mega corruption” atau
“grand-corruption” yang sering dilakukan oleh kelompok pemegang kekuasaan dan
telah bersifat sistemik dan meluas serta proses pembuktiannya sangat sulit.
proses pembuktian kasus “grand-corruption” harus didperkuat dengan pemberlakuan
undang-undang tentang perlindungan saksi/pelapor; undang-undang tentang
kebebasan memperoleh informasi publik; dan undang-undang tentang tindak pidana
pencucian uang.
[3] makalah tinjauan
pembatasan transaksi keuangan tunai dan penerapan sistem pembuktian terbalik
untuk memperkuat upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi dan tindak
pencucian uang. di sampaikan oleh yunus
husein, kepala ppatk
[4]
seminar pembuktian
terbalik : strategi baru pemberantasan
korupsi, di sajikan oleh : nur
chusniah, biro hukum komisi pemberantasan korupsi pada seminar nasional di
fakultas hukum universitas sriwijaya 12 september 2011
[5] (united nations
convention against corruption, 2003 (konvensi perserikatan bangsa‑bangsa anti
korupsi, 2003).
[6]
ibid
0 komentar:
Posting Komentar