Mengenai sengketa
pengasa vs minoritas. Baju besi milik Ali Ibn Abi Thalib satu waktu lenyap saat
persiapa tempur. Berikutnya, ia terlihat dipakai oleh seorang Yahudi. Ali
sangat mengenali baju besi miliknya itu, maka disergahlah si Yahudi dengan
santun, “Saudara, setelan dzir’a itu milikku!”
“Jika ia melekat pada
tubuhku,” tukas si Yahudi berkacak pinggang, “Maka ia adalah milikku. Anda tak
bisa mendaku sembarangan.”
“Sebab aku sangat
mengenali milikku, dan kau hanya mendaku dengan bukti melekatnya ia ditubuhmu,
bagaimana kalau kita ber-tahkim?” balas Ali.
Setelah berpikir
sejenak, si Yahudi menjnjawab,“Aku setuju. Tetapi siapa yang akan menjadi hakim
dalam urusan ini? Kata Ali, “Syuraih!”
“Apakah dia bisa
berbuat adil, di mana aku seorang Ahli Kitab sedang engkau Amirul Mukminin?”
selidik si Yahudi.
“Demi yang mengutus
Musa dengan Taurat,” ujar Ali, “Aku yang pertama-tama meluruskannya dengan
pedang jika dia bengkok.”
Maka pergilah mereka
kepada Hakim Syuraih. “Selamat datang wahai Amirul Mukminin!” sambut Syuraih.
Dia menanyai kedua pihak.
“Sudah tiga
ketidakadilan kurasa sejak masuk majelismu hai Syuraih!” tegur Ali,
“Luruskanlah atau kelayakanmu dalam mengadili batal! Pertama, kau panggil aku dengan gelar, sementara ia hanya nama. Kedua, kau dudukan aku di sisimu,
sementara dia dihadapan kita. Ketiga,
kaubiarkan aku menjawab tanpa bantahan. Sedang jawaban dia kau pertanyakan
lagi.” Si Yahudi heran dengan keberatan Ali.
Setelah
beberapa hal diluruskan, Syuraih berkata, “Amirul Mukminin, ini memang baju
besimu yang jatuh dari kuda saat di Auraq. tetapi untuk memutuskan bahwa ini
memang milikmu,” lanjut Syuraih, “Aku tetap membutuhkan kesaksian dua orang
lelaki adil.”
“Maka
inilah HAsan dan pelayanku Qanbur sebagai saksiku!” ujar Ali. “Qanbur bisa ku
terima,” jawab Syuraih, “tapi Hasan tidak. Kesaksian seorang anak untuk ayahnya
tidak dapat diterima di pengadilan ini!” tegas Syuraih. Ali tercengung sejenak.
“Tapi
tidakkah kau mendengar,” sanggah Ali, “Umar berkata bahwa Rasul bersabda,
‘Al-Hasan dan Al-Husain itu penghulu pemuda surga?”
“Maaf,”
kata Syuraih sambil tersenyum, “Aku tak menemukan dalil bahwa hal semacam itu
bisa mengecualikan dalam hak persaksian.”
Maka
Syuraih memutuskan bahwa baju besi itu menjadi milik si Yahudi sebab Ali gagal
menghadirkan dua saksi untuk pendakuannya. Ujung kisah ini tersentuh, si Yahudi
masuk Islam, dan hendak mengembalikan baju besi yang memang adalah milik Ali
itu. Alimenolak. “Tidak,” katanya, “Kau sekarang saudaraku, maka itu-juga kuda
ini-hadiah dariku agar tumbuh cinta diantara kita.”
Kisah
ini terdapat dalam Hilyatul Auliya (Abu Nu’aim), Sulubus Salam (Ash-Shan’ani);
Akhbarul Qudhah (Muhammad Ibn Khalaf); dan lain-lain. Beberapa ulama hadis
muta’akhirin enggan menerimanya sebab meski ada tiga jalur periwayatan ada
sedikit cela dalam tiap sanadnya. Memang andai standar penshahihan hadist
diterpakan untuk tarikh, kita akan kehilangan3/4 sejarah Islam, ujar Abul A’la
Al-Maududy. Maka sanad kisah ini masih “termaafkan”. Hmm, untuk kita ambil
sebagai ibrah bahwa penegak hukum tetaplah harus kaku dan procedural, meski
awal-awal keadilan agak terusik. Sebab “rasa” terlalu mudah dimainkan oleh
kepentingan. Ada kaidah “Nahnu nahkumu bizh zhawaahir; Kita berhukum dengan apa
yang tampak.”
0 komentar:
Posting Komentar