PERMOHONAN CONSTITUTIONAL
RIVIEW
PASAL 7 AYAT (1) HURUF B UU NO.12 TAHUN 2011 TENTANG
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
|
Palembang,
20 Desember 2011
Kepada
Yth.
Ketua
Makamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Medan
Merdeka barat No. 07
Jakarta
Pusat
Hal: Permohonan Constitutional Riview
(Uji Konstitusional) Pasal 7 Ayat
(1) Huruf b UU No.12 Tahun 2011Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan
Dengan hormat,
Yang bertanda tangan di bawah ini;
1
Nama : Vidya,
SH
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : Pengacara/Advocat
Alamat : Jalan Karang Asem
Utara No 32, Kelurahan Kuningan Timur,
Jakarta Selatan
2
Nama : Megasari,
SH
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : Pengacara/Advocat
Alamat : Jalan Dr. Radjiman
No. 6 Bandung
3
Nama : Alip,
SH
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : Pengacara/Advocat
Alamat : Jalan Leuwigajah
No. 106 Bandung
4
Nama : Cheristine,
SH
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : Pengacara/Advocat
Alamat : Jalan Diponegoro
No. 22 Bandung
5
Nama : Yoke,
SH
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : Pengacara/Advocat
Alamat : Jalan Merdeka No.10 Jakarta
Selatan
untuk
selanjutnya disebut sebagai PEMOHON
Bahwa dengan ini PEMOHON mengajukan Permohonan Constitutional Riview
(Uji Konstitusional) Pasal 7 Ayat
(1) Huruf b UU No. 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Sebelum
melangkah untuk sampai kepada petitum permohonan ini, izinkanlah PEMOHON untuk terlebih dahulu secara sistematik menguraikan:
(1) Hal-hal yang terkait dengan kewenangan
Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus perkara pengujian undang-undang
sebagaimana yang dimohonkan dalam permohonan ini;
(2) Hal-hal yang terkait dengan kedudukan hukum
atau “legal standing” PEMOHON yang menerangkan adanya hak-hak konstitusional Pemohon yang
diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang dirugikan dengan berlakunya norma
undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
(3) Hal-hal yang terkait dengan argumentasi
yuridis yang diajukan PEMOHON sebagai landasan untuk mengajukan petitum
dalam permohonan ini; dan
(4) Kesimpulan; sebagai berikut:
I.
KEWENANGAN MAHKAMAH
KONSTITUSI
1.
Permohonan
pengujian materiel terhadap Undang-Undang Dasar (constitutional review) kepada Mahkamah Konstitusi, semata-mata
didasarkan pada kewenangan Mahkamah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maupun dalam ketentuan
perundang-undangan sebagai berikut: Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juncto Pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan
bahwa: “Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk, antara lain, menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”;
2.
Oleh karena
yang dimohonkan Sehubungan dengan kewenangan yurisdiksi Mahkamah Konstitusi
sebagaimana dinyatakan di atas, Mahkamah Konstitusi berhak dan berwenang untuk
melakukan uji materiil atas Undang-Undang Nomor Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
khususnya pasal 7 Ayat (1) huruf b yang
bertentangan dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional PEMOHON sebagaimana yang diatur dalam 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945.
3. Berdasarkan
uraian di atas, maka tidak ada keraguan sedikitpun bagi PEMOHON menyimpulkan, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili
permohonan pengujian undang-undang ini pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final.
II.
KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON
1.
Bahwa Pasal
51 ayat (1) Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
mengatakan bahwa pemohon pengujian undang-undang adalah “pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
undang-undang” yang dalam huruf a menyebutkan “perorangan warga negara
Indonesia”. Selanjutnya dalam Penjelasan atas Pasal 51 ayat (1) undang-undang a
quo, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional” adalah “hak-hak
yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;
2. Bahwa Yurisprudensi
Tetap Mahkamah Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Putusan No
006/PUU-III/2005 jo Putusan No 11/PUU-V/2007 dan putusan-putusan selanjutnya
telah memberikan pengertian dan batasan komulatif tentang apa yang dimaksud
dengan “kerugian konstitusional” dengan berlakunya suatu norma undang-undang,
yaitu:
(1) Adanya hak konstitusional Pemohon yang
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(2) Bahwa hak konstitusional tersebut dianggap
oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
(3) Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud
bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial
yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
(4) Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; dan
(5)
Adanya
kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional
yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
3.
Bahwa
sebagai warganegara Republik Indonesia, PEMOHON mempunyai
hak-hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, baik yang bersifat tidak
langsung seperti hak untuk mendapatkan kepastian hukum sebagai
konsekuensi dari pernyataan bahwa Negara Republik Indonesia adalah sebuah
“negara hukum” sebagaimana normanya diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945,
maupun hak-hak konstitisional yang bersifat langsung yang normanya dirumuskan
dalam Bab XA yang diberi judul “HAK ASASI MANUSIA”, dan secara spesifik
dirumuskan dalam Pasal 28D ayat (1) yang bunyinya “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” ;
4. Oleh Karena
Itu, PEMOHON merasa bahwa hak konstitusionalnya telah
dirugikan karena berlakunya Pasal 7 Ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan berikut penjelasannya:
a.
Bahwa
Pemohon menganggap, dengan berlakunya norma dalam BAB III Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang No 12 Tahun 2011
yang menyatakan
“Jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.”
b. Bahwa ketika
mengajukan permohonan ini, Pemohon adalah warga negara Republik Indonesia yang menuntut hak
konstitusionalnya yaitu kepastian hukum atas masuknya TAP MPR dalam hierarki
perundang-undangan dan kedudukannya yang lebih tinggi di atas Undang-Undang.
5. Bahwa dengan
dikabulkannya Permohonan pengujian undang-undang ini, sebagaimana akan
dikemukakan dalam petitum permohonan nanti, PEMOHON berharap
hak-hak konstitusional PEMOHON untuk memperoleh adanya “pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil”;
6. Bahwa
berdasarkan argumentasi sebagaimana telah diuraikan di atas, maka PEMOHON berkesimpulan, PEMOHON
memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan permohonan ini, berdasarkan
alasan, yakni:
(1) PEMOHON adalah perorangan warganegara Republik Indonesia;
(2) Sebagai warganegara, PEMOHON mempunyai hak konstitusional yang normanya telah diatur dan
diberikan oleh UUD 1945, yakni hak konstitusional untuk tidak diperlakukan
sewenang-wenang oleh penyelenggara negara sebagai konsekuensi dari pernyataan
sebagai sebuah negara hukum (rechtsstaat) sebagaimana diatur oleh Pasal 1 ayat (3) UUD
1945, hak konstitusional untuk memperoleh jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) yang bunyinya “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum.”;
(3) Kerugian konstitusional tersebut nyata-nyata
terjadi, yakni hak-hak konstitusional PEMOHON dirugikan dengan ketentuan “Tap MPR masuk ke dalam hierarki Perundang-undangan”
sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 7 Ayat (1) Huruf b UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan yang
kini sedang dimohonkan untuk diuji;
(4) Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi
yang diharapkan akan mengabulkan petitum permohonan ini, maka kerugian
konstitusional Pemohon dimaksud, diharapkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
III.
POKOK PERKARA
1. Bahwa Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPRRI) dalam siding paripurna pada
tanggal… telah mengesahkan Rancanngan
Undang-Undang…. mmenjadi Undang-Undang… dengan mencabut Undang-Undang….
Kemudian pada tanggal … Undang-Undang…. disahkan oleh Presiden Republik
Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Undang-Undang Tanggal 20 Agustus 2011; yang diundangkan oleh pemerintah cq.
Presiden RI dalam Lembaran Negara Tahun… Nomor…, sedangkan penjelasan
Undang-Undang… a quo dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Nomor…; Penjelasan
Undang-Undang…diumumkan dalam TLNRI No...
2. Ketentuan Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan
hierarki sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(P-01: Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011)
3. Kedudukan dan Wewenang MPR
a. MPR SEBELUM AMANDEMEN
Sebelum dilakukan amandemen, MPR
merupakan lembaga tertinggi negara sebagaii pemegang
dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.
WEWENANG:
(1) Membuat putusan-putusan yang tidak dapat
dibatalkan oleh lembaga negara yang lain, termasuk penetapan Garis-Garis Besar
Haluan Negara yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden/Mandataris.
(2) Memberikan penjelasan yang bersifat
penafsiran terhadap putusan-putusan Majelis.
(3) Menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya
mengangkat Presiden Wakil Presiden.
(4) Meminta pertanggungjawaban dari Presiden/
Mandataris mengenai pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan menilai
pertanggungjawaban tersebut.
(5) Mencabut mandat dan memberhentikan Presiden
dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya apabila Presiden/mandataris
sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara dan/atau Undang-Undang Dasar.
(6) Mengubah undang-Undang Dasar Menetapkan
Peraturan Tata Tertib Majelis. Menetapkan
Pimpinan Majelis yang dipilih dari dan oleh anggota.
(7) Mengambil/memberi keputusan terhadap anggota
yang melanggar sumpah/janji anggota.
b. SESUDAH AMANDEMEN
Setelah amandemen, MPR
berkedudukan sebagai lembaga tinggi negara yang setara dengan setingkat dengan
Presiden, DPR, DPR, MA, MK dan KY dalam UUD 1945.
WEWENANG
(1) Mengubah dan menetapkan (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945),
(Undang-Undang Dasar).
(2) Melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan umum.
(3) Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan (Mahkamah Konstitusi) untuk
memberhentikan Presiden/Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
(4) Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat,
berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa
jabatannya.
(5) Memilih Wakil Presiden dari 2 calon yang diajukan Presiden apabila
terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
(6) Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara
bersamaan dalam masa jabatannya.
(P-02: Amandemen keempat UUD 1945
BAB MPR)
4. TAP MPR bila
dilihat dari lembaga yang membuatnya. Secara konstitusional MPR, yang
merupakan lembaga pembuat TAP MPR, bukan lagi merupakan lembaga tertinggi
negara yang di atas lembaga lainnya, melainkan sudah setingkat dengan DPR yang
juga lembaga legislatif. Berdasarkan asas bahwa UU yang dibuat oleh penguasa
yang lebih tinggi akan berkedudukan lebih tinggi pula,
maka TAP MPR secara teoritis akan lebih cocok setara dengan UU, bukan setingkat
di atas UU;
5. Setelah terbitnya TAP
MPR No I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan
MPRS/MPR RI Tahun 1960-2002, Ketetapan MPR berada di simpang jalan. Di satu
pihak dinyatakan bahwa masih ada 3 (tiga) Ketetapan yang masih berlaku dengan
ketentuan, yaitu
(1) TAP MPRS No
XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI;
(2) TAP MPR No
XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi; dan TAP
MPR RI No V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur (lihat TAP MPR
No I/MPR/2003 Pasal 2);
(3) dan 11 (sebelas)
Ketetapan yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang
(lihat TAP MPR No I/MPR/2003 Pasal 4). Jadi keempat belas ketetapan itu masih
memiliki daya laku (validity) dan
daya guna (efficacy).
(P-03: Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR 1/2003)
6. MPR tidak akan membuat lagi produk hukum
berbentuk TAP MPR yang mengikat ke luar, walaupun dalam Keputusan MPR Nomor 7
jo Nomor 13/MPR/2004 tentang Peraturan Tata Tertib MPR-RI masih dimungkinkan
dibentuknya TAP MPR (vide Pasal 74) walaupun dalam bentuk/arti beschikking;
7. TAP MPR Dalam Hierarki Perundang-udangan
a.
Sebelumnya,
dalam UU No. 10/2004 TAP MPR dikeluarkan dari hierarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia. TAP MPR memang sempat masuk ke dalam hierarki
peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam TAP MPRS No. XX Tahun
1966 dan TAP MPR No. III Tahun 2000. Namun, akhirnya TAP MPR dikeluarkan dari
hierarki dengan berlakunya UU No. 10/2004.
Sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (1)
UU 12/2011, Tap MPR dimasukkan kembali ke dalam hierarki peraturan
perundang-undangan yakni sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi;
dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Lebih jauh disebutkan dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU
12/2011 bahwa yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003 (“TAP MPR
1/2003”).
(P-04: TAP MPR No. III Tahun
2000;
P-05: TAP MPRS No. XX Tahun 1966;
P-06: UU No. 10
Tahun 2004)
b. Jika
dilihat posisi MPR dalam UUD 1945 sebelum perubahan, yang mana MPR merupakan
lembaga tertinggi negara, maka TAP MPR posisinya memang lebih tinggi dari UU.
akan tetapi bila dilihat posisi MPR setelah amandemen UUD 1945, posisi MPR
setingkat dan sederajat dengan DPR dan Presiden, yang membuat UU, maka TAP MPR
bisa dikatakan setingkat dengan UU. TAP MPR yang dimaksud dalam UU No. 12 Tahun
2011 adalah TAP MPR yang ditetapkan pada saat MPR masih menjadi lembaga
tertinggi negara, maka hierarkinya tentu lebih tinggi dari UU yang dibuat oleh
DPR bersama Presiden yang hanya lembaga tinggi negara.
c. TAP
MPR/S sebelum amandemen UUD 1945 merupakan aturan hukum dasar di samping UUD
1945 yang memuat norma dasar dan bersifat regeling, posisinya jelas
berada diatas UU yang lebih teknis. Setelah amandemen UUD 1945 posisi TAP MPR
tidak lagi menjadi aturan hukum dasar, dan UUD 1945 adalah aturan hukum dasa
tunggal, serta bersifat beshicking bagi administrasi internal MPR saja.
(P-07: Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966)
8. Pendapat Ahli
a.
Guru Besar
Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Jimly Asshiddiqie menyatakan sebenarnya
penempatan TAP MPR di atas UU adalah keliru. Menurutnya, TAP MPR seharusnya
sederajat dengan UU sehingga bisa dibatalkan jika bertentangan dengan
konstitusi melalui pengujian ke MK.
(P-08: Jimly
Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara
Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta : Bhuana Ilmu Populer, 2007))
b.
Mengenai
kedudukan TAP MPR Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Prof. Sri
Soemantri berpendapat bahwa setelah amandemen UUD 1945 terjadi perubahan
mendasar atas kedudukan MPR. MPR, menurutnya, tidak lagi sebagai lembaga negara tertinggi dan tidak akan ada
lagi bentuk hukum yang namanya ketetapan MPR.
c.
Menurut pakar Ilmu
Peraturan Perundang-undangan UI yang kini adalah hakim MK Maria Farida Indrati juga menyatakan bahwa karena sekarang
presiden dipilih oleh rakyat, maka Presiden bukan lagi sebagai mandataris MPR sehingga
untuk selanjutnya tidak boleh ada lagi TAP yang memberikan mandat ke presiden.
MPR, menurutnya, tidak berwenang membuat ketetapan yang bersifat mengatur, tapi
sebatas ketetapan MPR yang bersifat beshicking.
(P-10: Maria
Farida Indrati Soeprapto, Ilmu
Perundang-undangan : Dasar-dasar dan Pembentukannya, cet. XI,
(Yogyakarta : Kanisius, 2006))
9.
Bila terdapat UU
bertentanngan dengan TAP MPR tersebut, tapi mekanisme pengujiannya belum ada,
berarti negara dalam hal ini menelantarkan rakyat yang ingin mencari keadilan
karena merasa tidak mendapatkan keadilan akibat berlakunya UU tersebut. Bukankah
undang-undang berfungsi sebagai pengatur masyarakat, dan persoalan mengatur
masyarakat adalah bagaimana mendistribusikan keadilan bisa diterima oleh
pihak-pihak dalam masyarakat. Jika UU No. 25 Tahun
2007 tidak diterima oleh masyarakat, atau pihak yang merasa haknya dilanggar,
maka akan kemana dilakukan pengujian, sedangkan UUD 1945, UU No. 12 Tahun 2012
maupn UU MK sendiri tidak mengaturnya.
IV.
PETITUM
Berdasarkan uraian diatas, petitum yang kami dalam permohonan ini kepada Majelis Hakim mahkamah Konstitusi Yang Mulia adalah berkenan memutus permohonan ini denga amar putusan sebagai berikut
1.
Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya
2.
Menyatakan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2011 bertentangan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Hormat Kami
--------------------------
Vidya, SH
--------------------------
Megasari, SH
--------------------------
Alip, SH
--------------------------
Cheristine, SH
--------------------------
Yoke, SH
DAFTAR BUKTI SURAT PERMOHONAN
PERMOHONAN UJI KONSTITUSIONALITAS
PASAL 7 AYAT (1) HURUF B UU NO 12 TAHUN 2011
TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
NO
|
NAMA
BUKTI
|
NO
BUKTI
|
1.
|
Pasal 7 UU No.
12
Tahun 2011
|
P-01
|
2.
|
Amandemen keempat
UUD 1945 BAB MPR
|
P-02
|
3.
|
Pasal 2 dan Pasal 4
TAP MPR 1/2003
|
P-03
|
4.
|
TAP MPR No. III Tahun
2000
|
P-04
|
5.
|
TAP MPRS No. XX Tahun
1966
|
P-05
|
6.
|
UU No. 10
Tahun 2004
|
P-06
|
7.
|
Ketetapan MPRS Nomor
XXV/MPRS/1966
|
P-07
|
8.
|
Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia
Pasca Reformasi, (Jakarta : Bhuana Ilmu Populer, 2007
|
P-08
|
9.
|
P-09
|
|
10.
|
Maria Farida Indrati
Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan :
Dasar-dasar dan Pembentukannya, cet. XI, (Yogyakarta : Kanisius,
2006
|
P-10
|
0 komentar:
Posting Komentar