Kamis, 01 Agustus 2013

Keindahan Hukum di Zaman Ali



            Mengenai sengketa pengasa vs minoritas. Baju besi milik Ali Ibn Abi Thalib satu waktu lenyap saat persiapa tempur. Berikutnya, ia terlihat dipakai oleh seorang Yahudi. Ali sangat mengenali baju besi miliknya itu, maka disergahlah si Yahudi dengan santun, “Saudara, setelan dzir’a itu milikku!”
            “Jika ia melekat pada tubuhku,” tukas si Yahudi berkacak pinggang, “Maka ia adalah milikku. Anda tak bisa mendaku sembarangan.”
            “Sebab aku sangat mengenali milikku, dan kau hanya mendaku dengan bukti melekatnya ia ditubuhmu, bagaimana kalau kita ber-tahkim?” balas Ali.
            Setelah berpikir sejenak, si Yahudi menjnjawab,“Aku setuju. Tetapi siapa yang akan menjadi hakim dalam urusan ini?  Kata Ali, “Syuraih!”
            “Apakah dia bisa berbuat adil, di mana aku seorang Ahli Kitab sedang engkau Amirul Mukminin?” selidik si Yahudi.
            “Demi yang mengutus Musa dengan Taurat,” ujar Ali, “Aku yang pertama-tama meluruskannya dengan pedang jika dia bengkok.”
            Maka pergilah mereka kepada Hakim Syuraih. “Selamat datang wahai Amirul Mukminin!” sambut Syuraih. Dia menanyai kedua pihak.
            “Sudah tiga ketidakadilan kurasa sejak masuk majelismu hai Syuraih!” tegur Ali, “Luruskanlah atau kelayakanmu dalam mengadili batal! Pertama, kau panggil aku dengan gelar, sementara ia hanya nama. Kedua, kau dudukan aku di sisimu, sementara dia dihadapan kita. Ketiga, kaubiarkan aku menjawab tanpa bantahan. Sedang jawaban dia kau pertanyakan lagi.” Si Yahudi heran dengan keberatan Ali.
            Setelah beberapa hal diluruskan, Syuraih berkata, “Amirul Mukminin, ini memang baju besimu yang jatuh dari kuda saat di Auraq. tetapi untuk memutuskan bahwa ini memang milikmu,” lanjut Syuraih, “Aku tetap membutuhkan kesaksian dua orang lelaki adil.”
            “Maka inilah HAsan dan pelayanku Qanbur sebagai saksiku!” ujar Ali. “Qanbur bisa ku terima,” jawab Syuraih, “tapi Hasan tidak. Kesaksian seorang anak untuk ayahnya tidak dapat diterima di pengadilan ini!” tegas Syuraih. Ali tercengung sejenak.
            “Tapi tidakkah kau mendengar,” sanggah Ali, “Umar berkata bahwa Rasul bersabda, ‘Al-Hasan dan Al-Husain itu penghulu pemuda surga?”
            “Maaf,” kata Syuraih sambil tersenyum, “Aku tak menemukan dalil bahwa hal semacam itu bisa mengecualikan dalam hak persaksian.”
            Maka Syuraih memutuskan bahwa baju besi itu menjadi milik si Yahudi sebab Ali gagal menghadirkan dua saksi untuk pendakuannya. Ujung kisah ini tersentuh, si Yahudi masuk Islam, dan hendak mengembalikan baju besi yang memang adalah milik Ali itu. Alimenolak. “Tidak,” katanya, “Kau sekarang saudaraku, maka itu-juga kuda ini-hadiah dariku agar tumbuh cinta diantara kita.”
            Kisah ini terdapat dalam Hilyatul Auliya (Abu Nu’aim), Sulubus Salam (Ash-Shan’ani); Akhbarul Qudhah (Muhammad Ibn Khalaf); dan lain-lain. Beberapa ulama hadis muta’akhirin enggan menerimanya sebab meski ada tiga jalur periwayatan ada sedikit cela dalam tiap sanadnya. Memang andai standar penshahihan hadist diterpakan untuk tarikh, kita akan kehilangan3/4 sejarah Islam, ujar Abul A’la Al-Maududy. Maka sanad kisah ini masih “termaafkan”. Hmm, untuk kita ambil sebagai ibrah bahwa penegak hukum tetaplah harus kaku dan procedural, meski awal-awal keadilan agak terusik. Sebab “rasa” terlalu mudah dimainkan oleh kepentingan. Ada kaidah “Nahnu nahkumu bizh zhawaahir; Kita berhukum dengan apa yang tampak.”

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2010 Dokter Mahasiswa Fakultas Hukum Indonesia. All rights reserved.
Blogger Template by