Senin, 11 Februari 2013

Sistem Pembuktian Terbalik dan Transaksi Keuangan Non-Tunai: Strategi Baru Pemberantasan Korupsi

Palembang, Senin 12 September 2011
Ballroom Hotel Aryaduta Palembang
A. Latar Belakang
            Korupsi sudah menjadi kejahatan luarbiasa extra ordinary, karena menyangkut hampir semua level masyarakat dan menyebar ke seluruh nusantara. Hal ini dikarenakan korupsi sudah hampir menjadi budaya yang menyangkut semua tingkatan masyarakat seiring dengan pelaksanaan desentralisasi dan menjadi bagian dari operasional sehari-hari dan dianggap bukan merupakan perbuatan tercela juga perilaku korupsi telah ada dan melekat pada sistem, dimulai pada awal perencanaan program kerja tahunan, penggelembungan anggaran, rekayasan pemenang proyek dan lain-lain.
            Anatomi korupsi  menunjukkan bahwa,   uang hasil korupsi   merupakan derivative yang sangat penting bagi kelanjutan  korupsi dan kejahatan lain sebagai transnasional crime.Korupsi masa kini  bukan hanya karena  untuk memenuhi hidup sehari-hari (petty-corruption) akan tetapi juga lebih sering menampilkan keserakahan yang luar biasa (grand-corruption) dari suatu rezim yang sedang berkuasa sebagaimana kita saksikan kejatuhan suatu rezim pemerintahan selalu dilatarbelakangi oleh korupsi.  Atas dasar pengamatan ini maka pengumpulan harta kekayaan merupakan tujuan akhir dari korupsi sehingga perbuatan korupsi itu sendiri hanyalah merupakan “a means to an end” bukanlah merupakan “ an end in itself”.  
            Pembuktian Terbalik[1] merupakan strategi untuk memfasilitasi, mengumpulkan dan evaluasi bukti dalam rangka mengatasi ketidakmampuan sistem peradilan pidana untuk merespon secara efektif kejahatan non-konvensional seperti korupsi, pencucian uang dan kejahatan terorganisir. Dalam hal ini pembuktian terbalik dilakukan dalam rangka perampasan aset, atau memperkuat proses perkara pidana dan dikaitkan dengan proses  pidana itu sendiri.
Teori pembuktian yang selama ini diakui adalah “pembuktian negatif” (Pasal 183 UU RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana ) atau “negative wettelijke beginsel” atau dalam sistem Common Law dikenal sebagai, “proof beyond reasonable doubt,  dan   sejalan  dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence),yang sering menyulitkan proses pembuktian kasus-kasus mega-korupsi[2].   

B. ISI PEMAPARAN SEMINAR
                1. Pergeseran Transaksi Tunai           
            Terdapat pergeseran kebiasaan transaksi perbankan dan non bank oleh sebagian masyarakat. Transaksi pemindahan dana yang umumnya dapat dilakukan secara non tunai yakni transfer dana (baik transfer dana antar bank atau antar penyelenggara transfer dana maupun pemindahbukuan antar rekening di suatu bank mulai bergeser menuju transaksi tunai. Transaksi tunai tersebut antara lain setor tunai dan tarik tunai untuk keperluan tertentu.  Semakin meningkatnya trend transaksi tunai diduga antara lain dengan maksud untuk memutus pentrasiran atau pelacakan asal-usul sumber dana dan memutus pelacakan aliran dana kepada pihak penerima dana (beneficiary) yang pada akhirnya akan mempersulit tugas PPATK dalam melakukan analisis transaksi keuangan mencurigakan.
            Modus Transaksi TunaiModus transaksi tunai yang diduga untuk memutus pelacakan transaksi keuangan antara lain:
  1. Setoran tunai dalam jumlah besar dari bukan nasabah suatu bank (walk in customer) untuk pihak ketiga yang merupakan nasabah di suatu bank berbeda;
  2. Setoran tunai dalam jumlah besar dari pihak penyetor untuk pihak ketiga dimana baik pihak penyetor maupun penerima setoran merupakan nasabah di bank yang sama;
  3. Transaksi tarik tunai dalam jumlah besar untuk tujuan tertentu yang sebenarnya dapat dilakukan secara pemindahbukuan atau transfer dana, misalnya untuk pembayaran pembelian properti, kendaraan bermotor;
  4. Transaksi Tunai dilakukan oleh penerima suap dengan menggunakan kartu ATM milik penyuap.[3]
             2.  Pembuktian Terbalik
            Pembuktian Terbalik yang dimaksud adalah: ”pembalikan beban pembuktian”, di mana beberapa literatur menyebutnya: omkering van bewijslast atau shifting the burden of proof. Maksudnya, a party’s duty to proof a disputed assertion or charges. Atau, in litigation, the transference of the duty to prove a fact from one party to the other; the passing of the duty to produce evidence in a case from one side to another as the case progress, when one side has made a prima facie showing on a point of evidence, requiring the other side to rebut it by contradictory evidence.[4]
            Teori Pembuktian Terbalik (Balances Probality principle) menurut Prof.Dr.Romli Atmasasmita, Setiap orang berhak memiliki kekayaan/aset yang diperoleh secarah sah, kecuali terbukti sebaliknya;
  1. Tersangka/terdakwa yang diketahui asal usul asetnya sehingga seharusnya beban pembuktian asal-usul aset berada pada terdakwa/tersangka;
  2. Pembuktian terbalik atas aset tersangka/Terdakwa tidak merupakan pelanggaran HAM;
  3. Ada pemisahan antara pemilik aset dan setnya yang diduga berasal dari tindak Pidana;
  4. Aset tindak pidana merupakan subyek hukum setara dengan pemiliknya;
  5. Pembuktian terbalik atas aset melepaskan pertanggungjawaban pidana terhadap pemiliknya
            Salah satu pasal dari UNCAC[5] adalah Pasal 20 (memperkaya diri secara tidak sah) yang menentukan: Berdasarkan  konstitusi dan prinsip-prinsip dasar sistem hukumnya, masing-masing Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya sedemikian sebagaimana dianggap perlu untuk menetapkan sebagai pelanggaran pidana, apabila dilakukan dengan sengaja, perbuatan memperkaya diri, artinya, peningkatan penting dalam kekayaan pejabat publik yang tidak dapat secara wajar dijelaskannya berkaitan dengan penghasilannya yang sah. Oleh sebab itu Indonesia pada tanggal 16 April 2006 telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Undang‑Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Natlons Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa‑Bangsa Anti Korupsi, 2003).
            Pembuktian terbalik pada dasarnya merupakan penyimpangan dari Pasal 66 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Pasal 14 Ayat (3) huruf g Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang telah diratifikasi dengan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), yang menyebutkan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.
Di Indonesia pembuktian terbalik telah diatur dalam:
a.     Pasal 5 ayat (1) Perppu No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, dan Pasal 17 dan Pasal 18 UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
b.     Pasal 12B, Pasal 37, Pasal 37A, Pasal 37B dan Pasal 38 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
c.       Pasal 77 dan Pasal 78 dalam UU TPPU
.
            Namun demikian, baik Perppu No. 24 Tahun 1960 dan UU No. 3 Tahun 1971 maupun ketentuan Pasal-Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 tersebut tidak mengatur secara tegas mengenai pembuktian terbalik. Bahkan dalam praktek penanganan kasus korupsi belum pernah menerapkan pembuktian terbalik sebagai sistem pembuktian[6].
C. PENUTUP
     1. Kesimpulan
            Salah satu penyebab sulitnya pemberantasan korupsi adalah sulitnya pembuktian, karena para pelaku tindak pidana ini melakukan kejahatannya dengan sangat rapi. Untuk memecahkannya, maka upaya Pemerintah yang bisa ditempuh yaitu menerapkan pembuktian terbalik terhadap perkara-perkara korupsi.
            Model baru  asas pembuktian terbalik ini ditujukan terhadap pengungkapan secara tuntas asal usul asset-aset yang diuga dari hasil  korupsi itu sendiri, yaitu dengan menempatkan posisi hak atas kekayaan pribadi seseorang pada level yang sangat rendah, dan pada saat bersamaan menempatkan hak kemerdekaan orang ybs  pada level yang sangat tinggi dan sama sekali tidak boleh dilanggar.    Teori pembuktian terbalik tersebut dikenal sebagai “teori keseimbangan kemungkinan” (Balanced probability principle theory) dalam pembuktian harta kekayaan tersebut     bertujuan untuk menjawab asal usul harta kekayaan seseorang yang sangat tinggi  yang tidak sebanding  dengan penghasilan yang diterima setiap bulannya, dan di duga berasal dari korupsi. Teori ini menempatkan seseorang  dalam posisi sebelum yang bersangkutan memperoleh harta kekayaan nya yang meningkat secara signifikan.[7] 
            Perlunya Pembatasan Transaksi Tunai karena Transaksi Tunai banyak digunakan untuk memutus pentrasiran atau pelacakan asal-usul sumber dana dan memutus pelacakan aliran.  Kewajiban melakukan transaksi keuangan non-tunai untuk jumlah nominal tertentu perlu dilakukan, mengingat kasus korupsi di Indonesia berada pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Adapun pokok usulan ppatk dalam uu transfer dana yaitu setiap transaksi transfer dana yang sumber dananya berasal dari setoran tunai dengan jumlah atau lebih besar dari Rp. 500 Juta wajib ditolak atau wajib dilakukan secara pemindahbukuan
      2. Saran
            Hukuman berat segera diberlakukan bagi koruptor setelah ada pemutihan bersyarat agar koruptor berkesempatan mengembalikan uang negara. PPATK mendorong masyarkat untuk lebih mengoptimalkan penggunaan jasa perbankan dan penyedia jasa lainnya. Namun untuk mewujudkan hal tersebut dperlukan dukungan sarana dan prasarana, mengingat masyarakat Indonesia banyak dan masih melakukan transaksi secara tunai. Dukungan pihak eksekutif, legislatif, yudikatif dan seluruh rakyat Indonesia sangat dibutuhkan, sehingga dimungkinkan terwujudnya kebijakan tersebut. Pemberantasan korupsi tidak hanya mengharapkan kerja KPK dan lembaga penegak hukum, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan.
___________________________________________________
DAFTAR PUSTAKA
Alie , Marzuki. Sistem Pembuktian Terbalik Dan Transaksi Keuangan Non Tunai Strategi Baru Pemberantasan Korupsi. 2011
Atmasasmita ,Romli .Makalah: Pembuktian Terbalik Dalam Kasus Korupsi .2011           
Chusniah ,Nur .Makalah  Pembuktian Terbalik  : Strategi Baru Pemberantasan Korupsi.2011
Husein, Yunus.Makalah Tinjauan Pembatasan Transaksi Keuangan Tunai dan Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik untuk Memperkuat Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi dan Tindak Pencucian Uang.2011 

Indrayana,Denny.Indonesia Optimis.Jakarta:PT. Bhuana Ilmu Populer .2011


[1] pembuktian terbalik disebut juga pembalikan beban pembuktian, omkering van het bewijslast atau reversal of burden of proof. penerapan sistem pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi sudah dianut antara lain di hongkong, malaysia, dan singapura.
[2]istilah tersebut untuk membedakannya dengan “petty corruption” yang proses pembuktiannya relative lebih mudah dibandingkan dengan “mega corruption” atau “grand-corruption” yang sering dilakukan oleh kelompok pemegang kekuasaan dan telah bersifat sistemik dan meluas serta proses pembuktiannya sangat sulit. proses pembuktian kasus “grand-corruption” harus didperkuat dengan pemberlakuan undang-undang tentang perlindungan saksi/pelapor; undang-undang tentang kebebasan memperoleh informasi publik; dan undang-undang tentang tindak pidana pencucian uang.
[3] makalah tinjauan pembatasan transaksi keuangan tunai dan penerapan sistem pembuktian terbalik untuk memperkuat upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi dan tindak pencucian uang. di sampaikan oleh yunus husein, kepala ppatk
[4] seminar pembuktian terbalik  : strategi baru pemberantasan korupsi, di sajikan oleh : nur chusniah, biro hukum komisi pemberantasan korupsi pada seminar nasional di fakultas hukum universitas sriwijaya 12 september 2011
[5] (united nations convention against corruption, 2003 (konvensi perserikatan bangsa‑bangsa anti korupsi, 2003).
[6] ibid
[7] Makalah Pembuktian Terbalik Dalam Kasus Korupsi oleh Romli Atmasasmita

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2010 Dokter Mahasiswa Fakultas Hukum Indonesia. All rights reserved.
Blogger Template by