Selasa, 30 Juli 2013

Keindahan Hukum di Zaman Umar



            Umar sedang duduk beralas surban di bebayang pohon kurma dekat masjid nabawi. Sahabat disekelilingnya bersyura’ bahas aneka soal. Tiga orang pemuda datang menghadap; dua bersaudara berwajah marah yang mengapit pemuda lusuh yang tertunduk dalam belenggu mereka.
            “Tegakkanlah keadilan untuk kami, hai amirul mukminin,” ujar seorang. “Qishashlah pembunuh ayah kami sebagai had atas kejahatannya!”
            umar bangkit,”Bertakwalah kepada Allah,” serunya pada semua. “Benarkah engkau membunuh ayah mereka wahai anak muda?” Selidiknya.
            Pemuda itu menunduk sesal. ”Benar wahai amirul mukminin!” Jawabnya ksatria. “Ceritakanlah pada kami kejadiannya!” Tukas Umar.
            “Aku datang dari pendalaman yang jauh, kaumku mempercayakan berbagai urusan muamalah untuk kuselesaikan di kota ini,” uangkapnya.” Saat sampai,” lanjutnya, ”Kutambatkan untaku satu tunggul kurma, lalu kutinggalkan ia. Begitu kembali, aku terkejut dan terpana. Tampak olehku seorang lelaki tua sedang menyembelih untaku di lahan kebunnya yang tampak rusak terinjak dan ragas-rigis tanamannya. Sungguh aku sangat marah dan murka kucabut pedang hingga terbunuhlah si bapak itu. Dialah rupanya ayah kedua saudara ini.”
            “Wahai, Amirul Mukminin,” ujar seorang penggugat, “Kau telah mendengar pengakuannya, dan kami bisa hadirkan banyak saksi untuk itu.”
            “Tegakkanlah had Allah atasnya!” Timpal yang lain. Umar galau dan bimbang setelah mendengar lebih jauh kisah pemuda terdakwa itu. “Sesungguhnya yang kalian tuntut ini pemuda shalih lagi baik budinya,” ujar Umar, “Dia membunuh ayah kalian karena khilaf kemarahan sesaat.”
            “Izinkan aku,” ujar Umar, ”Meminta kalian berdua untuk memaafkannya dan akulah yang akan membayarkan diyat atas kematian ayahmu.”
            “Maaf Amirul Mukminin,” Sergah kedua pemuda dengan mata yang masih menyala merah; sedih dan marah, “Kami sangat menyayangi ayah kami. Bahkan andai harta sepenuh bumi dikumpulkan untuk membuat kami kaya,” ujar salah satu, “Hati kami hanya akan ridha jika jiwa dibalas dengan jiwa!”
            Umar yang tumbuh simpati pada terdakwa yang dinilainya amanah, jujur, dan bertanggung jawab; tetap kehabisan akal meyakinkan penggugat.
            “Wahai Amirul Mukminin,” ujar pemuda tergugat itu dengan anggun dan gagah, “tegakkanlah hukum Allah, laksanakanlah qishash atasku. Aku ridha kepada ketentuan Allah,” lanjutnya, “Hanya saja izinkan aku menunaikan semuaa amanah dan kewajiban yang tertanggung ini.”
            “Apa maksudmu?” Tanya hadirin. “Urusan muamalah kaumku,” ujar pemuda itu, “Berilah aku tangguh 3 hari untuk selesaikan semua. Aku berjanji dengan nama allah yang menetapkan qishash dalam Al-Qur’an, aku akan kembali 3 hari dari sekarang untuk menyerahkan jiwaku.”
            “Mana bisa begitu!” Teriak penggugat. “Nak,” ujar Umar, “Tak punyakah kau kerabat dan kenalan yang bisa kau limpahkani urusan ini?”
            “Sayangnya tidak ati kami. Dan bagaimana pendapatmu jika kematianku masih menanggung utang dan tanggungan amanah ini?”
            “Baik,” sahut Umar, “Aku memberimu tangguh 3 hari, tapi harus ada orang yang menjaminmu bahwa kau akan menepati janji untuk kembali.”
            “Aku tidak memiliki seorang kerabat pun di sini hanya Allah, yang menjadi penjaminku wahai orang-orang yang beriman kepada-Nya,” rajuknya.
            “Jadikan aku penjaminnya, hai Amirul Mukminin!” Sebuah suara berat dan berwibawa menyeruak dari arah hadirin. Itu Salman Al-Farisi.
            “Salman?” Hardik Umar, “Demi Allah engkau belum mengenalnya! Demi Allah jangan main-main dengan urusan ini! Cabut kesediaanmu!”
            “Pengenalanku kepadanya, tak beda dengan pengenalanmu ya Umar,” ujar Salman, “Aku percaya kepadanya sebagaimana engkau mempercayainya.”
            Dengan berat hati, Umar melepas pemuda itu dan menerima penjaminan yang dilakukan oleh Salman baginya. Tiga hari berlalu sudah. Detik-detik menjelang eksekusi bagitu menegangkan. Pemuda itu belum muncul. Umar gelisah mondar-mandir. Penggugat mendecak kecewa. Semua hadirin sangat mengkahwatirkan salman. Sahabat perantauan negeri; pengembara iman itu mulia dan tercinta di hati rasulullah dan sahabatnya.
            Mentari dipagi hari batas nyaris terbenam; Salman dengan tenang dan tawakal melangkah siap ke tempat qishash. Isak pilu tertahan. Tetapi sosok bayang berlari terengah dalam temaram; terseok, terjerembab, lalu bangkit dan nyaris merangkak. “Itu dia!” Pekik Umar.
            Pemuda itu dengan tubuh berkuah  peluh dan napas putus-putus ambruk dipangkuan umar. “Maafkan aku,” ujarnya, “Hampir terlambat. Urusan kaumku memakan banyak waktu. Kupacu tungganganku tanpa henti hingga ia sekarat di gurun dan terpaksa kuutinggalkan, lalu kuberlari.”
            “Demi Allah,” ujar Umar sambil menenagkan dan meminumi, “Bukankah engaku bisa lari dari hukuman ini? Mengapa susah payah kembali?”
            “Supaya jangan sampai ada yang mengatakan,” ujar terdakwa itu dalam senyum, “Di kalangan Muslimin tak ada lagi ksatria tepat janji.”
            “Lalu kau, hai Salman,” ujar Umar berkaca-kaca, “Mengapa mau-maunya kau jadi penjamin seseorang yang tak kau kenal sama sekali?”
            “Agar jangan sampai dikatakan,” jawab Salman teguh, “Di kalangan Muslimin tak ada lagi saling percaya dan mennanggung beban saudara.”
            “Allahu Akbar!” Pekik dua pemuda penggugat sambil memeluk terdakwa, “Allah dan kaum Muslimin jadi saksi bahwa kami memaafkannya.”
            “Kalian.” Kata Umar makin terharu, “apa maksudnya? Jadi kalian memaafkannya? Jadi dia tak jadi diqishash? Allahku Akbar! Mengapa?”
            “Agar jangan ada yang merasa,” sahut keduanya masih terisak, “Di kalangan kaum Muslimin tak lagi ada kemaafan dan kasih sayang.”

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2010 Dokter Mahasiswa Fakultas Hukum Indonesia. All rights reserved.
Blogger Template by