Kamis, 23 Mei 2013

TUGAS MK/MA: UJI MATERIL PASAL 7 AYAT (1) HURUF B UU NO 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


PERMOHONAN CONSTITUTIONAL RIVIEW
PASAL 7 AYAT (1) HURUF B UU NO.12 TAHUN 2011 TENTANG
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

 



Palembang, 20 Desember 2011



Kepada Yth.
Ketua Makamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Medan Merdeka barat No. 07
Jakarta Pusat

Hal:   Permohonan Constitutional Riview (Uji Konstitusional) Pasal 7 Ayat (1) Huruf b UU       No.12 Tahun 2011Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Dengan hormat,

Yang bertanda tangan di bawah ini;
1        Nama                     : Vidya, SH
Kewarganegaraan                       : Indonesia    
Pekerjaan              : Pengacara/Advocat
Alamat                   : Jalan Karang Asem Utara No 32, Kelurahan Kuningan Timur,
                                 Jakarta Selatan
                            
2        Nama                     : Megasari, SH
Kewarganegaraan                       : Indonesia    
Pekerjaan              : Pengacara/Advocat
Alamat                   : Jalan Dr. Radjiman No. 6 Bandung

3        Nama                     : Alip, SH
Kewarganegaraan                       : Indonesia    
Pekerjaan              : Pengacara/Advocat
Alamat                   : Jalan Leuwigajah No. 106 Bandung

4        Nama                     : Cheristine, SH
Kewarganegaraan          : Indonesia     
Pekerjaan              : Pengacara/Advocat
Alamat                   : Jalan Diponegoro No. 22 Bandung

5        Nama                     : Yoke, SH
Kewarganegaraan                       : Indonesia    
Pekerjaan              : Pengacara/Advocat
Alamat                   : Jalan Merdeka No.10 Jakarta Selatan
                

untuk selanjutnya disebut sebagai PEMOHON

Bahwa dengan ini PEMOHON mengajukan Permohonan Constitutional Riview (Uji Konstitusional) Pasal 7 Ayat (1) Huruf b UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Sebelum melangkah untuk sampai kepada petitum permohonan ini, izinkanlah PEMOHON untuk terlebih dahulu secara sistematik menguraikan:
(1)   Hal-hal yang terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus perkara pengujian undang-undang sebagaimana yang dimohonkan dalam permohonan ini;
(2)   Hal-hal yang terkait dengan kedudukan hukum atau “legal standingPEMOHON yang menerangkan adanya hak-hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang dirugikan dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
(3)   Hal-hal yang terkait dengan argumentasi yuridis yang diajukan PEMOHON sebagai landasan untuk mengajukan petitum dalam permohonan ini; dan
(4)   Kesimpulan; sebagai berikut:


I.        KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

1.      Permohonan pengujian materiel terhadap Undang-Undang Dasar (constitutional review) kepada Mahkamah Konstitusi, semata-mata didasarkan pada kewenangan Mahkamah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maupun dalam ketentuan perundang-undangan sebagai berikut: Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk, antara lain, menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;

2.    Oleh karena yang dimohonkan Sehubungan dengan kewenangan yurisdiksi Mahkamah Konstitusi sebagaimana dinyatakan di atas, Mahkamah Konstitusi berhak dan berwenang untuk melakukan uji materiil atas Undang-Undang Nomor Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, khususnya pasal 7 Ayat (1) huruf b yang bertentangan dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional PEMOHON sebagaimana yang diatur dalam 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

3.    Berdasarkan uraian di atas, maka tidak ada keraguan sedikitpun bagi PEMOHON menyimpulkan, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili permohonan pengujian undang-undang ini pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.
 
II.                  KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON

1.   Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa  pemohon pengujian undang-undang adalah “pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang” yang dalam huruf a menyebutkan “perorangan warga negara Indonesia”. Selanjutnya dalam Penjelasan atas Pasal 51 ayat (1) undang-undang a quo, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional” adalah “hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;

2.   Bahwa Yurisprudensi Tetap Mahkamah Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Putusan No 006/PUU-III/2005 jo Putusan No 11/PUU-V/2007 dan putusan-putusan selanjutnya telah memberikan pengertian dan batasan komulatif tentang apa yang dimaksud dengan “kerugian konstitusional” dengan berlakunya suatu norma undang-undang, yaitu:
(1)   Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(2)   Bahwa hak konstitusional tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
(3)   Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
(4)   Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; dan
(5)   Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

3.        Bahwa sebagai warganegara Republik Indonesia, PEMOHON mempunyai hak-hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, baik yang bersifat tidak langsung seperti hak untuk mendapatkan kepastian hukum sebagai konsekuensi dari pernyataan bahwa Negara Republik Indonesia adalah sebuah “negara hukum” sebagaimana normanya diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, maupun hak-hak konstitisional yang bersifat langsung yang normanya dirumuskan dalam Bab XA yang diberi judul “HAK ASASI MANUSIA”,  dan secara spesifik dirumuskan dalam Pasal 28D ayat (1) yang bunyinya “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.;

4.  Oleh Karena Itu, PEMOHON merasa bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan karena berlakunya Pasal 7 Ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan berikut penjelasannya:
a.      Bahwa Pemohon menganggap, dengan berlakunya norma dalam BAB III Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No 12 Tahun 2011 yang  menyatakan
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
b.  Bahwa ketika mengajukan permohonan ini, Pemohon adalah warga negara Republik Indonesia yang menuntut hak konstitusionalnya yaitu kepastian hukum atas masuknya TAP MPR dalam hierarki perundang-undangan dan kedudukannya yang lebih tinggi di atas Undang-Undang.

5.   Bahwa dengan dikabulkannya Permohonan pengujian undang-undang ini, sebagaimana akan dikemukakan dalam petitum permohonan nanti, PEMOHON berharap hak-hak konstitusional PEMOHON untuk memperoleh adanya “pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil”;

6.  Bahwa berdasarkan argumentasi sebagaimana telah diuraikan di atas, maka PEMOHON berkesimpulan, PEMOHON memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan ini, berdasarkan alasan, yakni:
(1)   PEMOHON adalah perorangan warganegara Republik Indonesia;
(2)   Sebagai warganegara, PEMOHON mempunyai hak konstitusional yang normanya telah diatur dan diberikan oleh UUD 1945, yakni hak konstitusional untuk tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh penyelenggara negara sebagai konsekuensi dari pernyataan sebagai sebuah negara hukum (rechtsstaat) sebagaimana diatur oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, hak konstitusional untuk memperoleh jaminan, perlindungan, dan  kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) yang bunyinya “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.;
(3)   Kerugian konstitusional tersebut nyata-nyata terjadi, yakni hak-hak konstitusional PEMOHON dirugikan dengan ketentuan “Tap MPR masuk ke dalam hierarki Perundang-undangan” sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 7 Ayat (1) Huruf b  UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan  yang kini sedang dimohonkan untuk diuji;
(4)   Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang diharapkan akan mengabulkan petitum permohonan ini, maka kerugian konstitusional Pemohon dimaksud, diharapkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.


III.                POKOK PERKARA

1.      Bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPRRI) dalam siding paripurna pada tanggal…    telah mengesahkan Rancanngan Undang-Undang…. mmenjadi Undang-Undang… dengan mencabut Undang-Undang…. Kemudian pada tanggal … Undang-Undang…. disahkan oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Undang-Undang Tanggal 20 Agustus 2011; yang diundangkan oleh pemerintah cq. Presiden RI dalam Lembaran Negara Tahun… Nomor…, sedangkan penjelasan Undang-Undang… a quo dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Nomor…; Penjelasan Undang-Undang…diumumkan dalam TLNRI No...

2.      Ketentuan Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(P-01: Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011)

3.      Kedudukan dan Wewenang MPR
a.      MPR SEBELUM AMANDEMEN
Sebelum dilakukan amandemen, MPR merupakan lembaga tertinggi negara sebagaii pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.
WEWENANG:
(1)   Membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara yang lain, termasuk penetapan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden/Mandataris.
(2)   Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap putusan-putusan Majelis.
(3)   Menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden Wakil Presiden.
(4)   Meminta pertanggungjawaban dari Presiden/ Mandataris mengenai pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan menilai pertanggungjawaban tersebut.
(5)   Mencabut mandat dan memberhentikan Presiden dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya apabila Presiden/mandataris sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara dan/atau Undang-Undang Dasar.
(6)   Mengubah undang-Undang Dasar  Menetapkan Peraturan Tata Tertib Majelis. Menetapkan Pimpinan Majelis yang dipilih dari dan oleh anggota.
(7)   Mengambil/memberi keputusan terhadap anggota yang melanggar sumpah/janji anggota.
b.      SESUDAH AMANDEMEN
Setelah amandemen, MPR berkedudukan sebagai lembaga tinggi negara yang setara dengan setingkat dengan Presiden, DPR, DPR, MA, MK dan KY dalam UUD 1945.
WEWENANG
(1)   Mengubah dan menetapkan (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945), (Undang-Undang Dasar).
(2)   Melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan umum.
(3)   Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan (Mahkamah Konstitusi) untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
(4)   Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya.
(5)   Memilih Wakil Presiden dari 2 calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
(6)   Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya.
 (P-02: Amandemen keempat UUD 1945 BAB MPR)

4. TAP MPR bila dilihat dari lembaga yang membuatnya. Secara konstitusional MPR, yang merupakan lembaga pembuat TAP MPR, bukan lagi merupakan lembaga tertinggi negara yang di atas lembaga lainnya, melainkan sudah setingkat dengan DPR yang juga lembaga legislatif. Berdasarkan asas bahwa UU yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi akan berkedudukan lebih tinggi pula, maka TAP MPR secara teoritis akan lebih cocok setara dengan UU, bukan setingkat di atas UU;

5.  Setelah terbitnya TAP MPR No I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS/MPR RI Tahun 1960-2002, Ketetapan MPR berada di simpang jalan. Di satu pihak dinyatakan bahwa masih ada 3 (tiga) Ketetapan yang masih berlaku dengan ketentuan, yaitu
(1)   TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI;
(2)   TAP MPR No XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi; dan TAP MPR RI No V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur (lihat TAP MPR No I/MPR/2003 Pasal 2);
(3)   dan 11 (sebelas) Ketetapan yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang (lihat TAP MPR No I/MPR/2003 Pasal 4). Jadi keempat belas ketetapan itu masih memiliki daya laku (validity) dan daya guna (efficacy).
(P-03: Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR 1/2003)

6.      MPR tidak akan membuat lagi produk hukum berbentuk TAP MPR yang mengikat ke luar, walaupun dalam Keputusan MPR Nomor 7 jo Nomor 13/MPR/2004 tentang Peraturan Tata Tertib MPR-RI masih dimungkinkan dibentuknya TAP MPR (vide Pasal 74) walaupun dalam bentuk/arti beschikking;

7.      TAP MPR Dalam Hierarki Perundang-udangan
a.      Sebelumnya, dalam UU No. 10/2004 TAP MPR dikeluarkan dari hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. TAP MPR memang sempat masuk ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam TAP MPRS No. XX Tahun 1966 dan TAP MPR No. III Tahun 2000. Namun, akhirnya TAP MPR dikeluarkan dari hierarki dengan berlakunya UU No. 10/2004. 
Sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011, Tap MPR dimasukkan kembali ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan yakni sebagai berikut:
a.      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.      Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.      Peraturan Pemerintah;
e.      Peraturan Presiden;
f.       Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.      Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Lebih jauh disebutkan dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU 12/2011  bahwa yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003 (“TAP MPR 1/2003”).
(P-04: TAP MPR No. III Tahun 2000;
 P-05: TAP MPRS No. XX Tahun 1966;
 P-06: UU No. 10 Tahun 2004)
b.      Jika dilihat posisi MPR dalam UUD 1945 sebelum perubahan, yang mana MPR merupakan lembaga tertinggi negara, maka TAP MPR posisinya memang lebih tinggi dari UU. akan tetapi bila dilihat posisi MPR setelah amandemen UUD 1945, posisi MPR setingkat dan sederajat dengan DPR dan Presiden, yang membuat UU, maka TAP MPR bisa dikatakan setingkat dengan UU. TAP MPR yang dimaksud dalam UU No. 12 Tahun 2011 adalah TAP MPR yang ditetapkan pada saat MPR masih menjadi lembaga tertinggi negara, maka hierarkinya tentu lebih tinggi dari UU yang dibuat oleh DPR bersama Presiden yang hanya lembaga tinggi negara. 
c.       TAP MPR/S sebelum amandemen UUD 1945 merupakan aturan hukum dasar di samping UUD 1945 yang memuat norma dasar dan bersifat regeling, posisinya jelas berada diatas UU yang lebih teknis. Setelah amandemen UUD 1945 posisi TAP MPR tidak lagi menjadi aturan hukum dasar, dan UUD 1945 adalah aturan hukum dasa tunggal, serta bersifat beshicking bagi administrasi internal MPR saja.
(P-07: Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966)

8.      Pendapat Ahli
a.      Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Jimly Asshiddiqie menyatakan sebenarnya penempatan TAP MPR di atas UU adalah keliru. Menurutnya, TAP MPR seharusnya sederajat dengan UU sehingga bisa dibatalkan jika bertentangan dengan konstitusi melalui pengujian ke MK. 
(P-08: Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta : Bhuana Ilmu Populer, 2007))
b.      Mengenai kedudukan TAP MPR Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Prof. Sri Soemantri berpendapat bahwa setelah amandemen UUD 1945 terjadi perubahan mendasar atas kedudukan MPR. MPR, menurutnya, tidak lagi sebagai lembaga negara tertinggi dan tidak akan ada lagi bentuk hukum yang namanya ketetapan MPR.
c.       Menurut pakar Ilmu Peraturan Perundang-undangan UI yang kini adalah hakim MK Maria Farida Indrati juga menyatakan bahwa karena sekarang presiden dipilih oleh rakyat, maka Presiden bukan lagi sebagai mandataris MPR sehingga untuk selanjutnya tidak boleh ada lagi TAP yang memberikan mandat ke presiden. MPR, menurutnya, tidak berwenang membuat ketetapan yang bersifat mengatur, tapi sebatas ketetapan MPR yang bersifat beshicking.
(P-10: Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan : Dasar-dasar dan Pembentukannya, cet. XI, (Yogyakarta : Kanisius, 2006))

9.      Bila terdapat UU bertentanngan dengan TAP MPR tersebut, tapi mekanisme pengujiannya belum ada, berarti negara dalam hal ini menelantarkan rakyat yang ingin mencari keadilan karena merasa tidak mendapatkan keadilan akibat berlakunya UU tersebut. Bukankah undang-undang berfungsi sebagai pengatur masyarakat, dan persoalan mengatur masyarakat adalah bagaimana mendistribusikan keadilan bisa diterima oleh pihak-pihak dalam masyarakat. Jika UU No. 25 Tahun 2007 tidak diterima oleh masyarakat, atau pihak yang merasa haknya dilanggar, maka akan kemana dilakukan pengujian, sedangkan UUD 1945, UU No. 12 Tahun 2012 maupn UU MK sendiri tidak mengaturnya.


IV.               PETITUM

Berdasarkan uraian diatas, petitum yang kami dalam permohonan ini kepada Majelis Hakim mahkamah Konstitusi Yang Mulia adalah berkenan memutus permohonan ini denga amar putusan sebagai berikut
1.        Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya
2.        Menyatakan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2011 bertentangan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Hormat Kami



 --------------------------
Vidya, SH



--------------------------
Megasari, SH



--------------------------
Alip, SH



--------------------------
Cheristine, SH



--------------------------
Yoke, SH
DAFTAR BUKTI SURAT PERMOHONAN
PERMOHONAN UJI KONSTITUSIONALITAS
PASAL 7 AYAT (1) HURUF B UU NO 12 TAHUN 2011
TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


NO
NAMA BUKTI
NO BUKTI
1.
Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011
P-01
2.
Amandemen keempat UUD 1945 BAB MPR
P-02
3.
Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR 1/2003
P-03
4.
TAP MPR No. III Tahun 2000
P-04
5.
TAP MPRS No. XX Tahun 1966
P-05
6.
UU No. 10 Tahun 2004
P-06
7.
Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966
P-07
8.
Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta : Bhuana Ilmu Populer, 2007
P-08
9.
P-09
10.
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan : Dasar-dasar dan Pembentukannya, cet. XI, (Yogyakarta : Kanisius, 2006
P-10

                                                                                               

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2010 Dokter Mahasiswa Fakultas Hukum Indonesia. All rights reserved.
Blogger Template by